Beranda | Artikel
Bijak Meluruskan Kekeliruan Anak
Selasa, 29 Oktober 2024

Bijak Meluruskan Kekeliruan Anak ini merupakan bagian dari kajian Islam ilmiah Fiqih Pendidikan Anak yang disampaikan oleh Ustadz Abdullah Zaen, M.A. Hafidzahullah. Kajian ini disampaikan pada Senin, 25 Rabiul Akhir 1446 H / 28 Oktober 2024 M.

Kajian Tentang Bijak Meluruskan Kekeliruan Anak

Sebagai orang tua atau orang dewasa, kita seharusnya semakin bijak dan matang dalam berpikir seiring bertambahnya usia. Namun, faktanya, meskipun sudah dewasa, kita masih sering melakukan kesalahan. Jika demikian, mengapa kita sulit menerima ketika anak kita melakukan kesalahan, padahal mereka belum sempurna akalnya, minim pengalaman, dan belum memiliki kebijaksanaan yang cukup?

Terkadang, kita menerapkan standar ganda: ingin dimengerti ketika kita berbuat salah, tetapi tidak mau memahami orang lain saat mereka melakukan kesalahan. Ini termasuk standar ganda yang perlu dihindari. Saat anak melakukan kesalahan, kita perlu menegur mereka, tetapi dengan aturan dan adab yang baik, karena menegur dengan cara yang ngawur bisa membuat anak trauma. Sebaliknya, jika tidak ditegur sama sekali, juga bisa menjadi kebiasaan yang tidak baik bagi anak.

Maka, penting untuk menjaga keseimbangan dalam menegur. Menegur secara berlebihan salah, namun tidak menegur sama sekali juga salah.

Berarti, cara yang benar adalah menegur anak secara bijaksana. Yaitu dengan tiga langkah berikut ini:

Memberitahu dengan lembut

Mengapa perlu dengan lembut? Karena sering kali anak-anak melakukan kesalahan karena mereka tidak tahu bahwa itu salah. Misalnya, anak-anak berlari-lari di dalam masjid. Mengapa? Karena mereka tidak paham bahwa masjid bukan tempat untuk berlari-lari. Bagi mereka, masjid terlihat luas, seperti lapangan, sehingga mereka berpikir boleh saja berlarian di sana. Jadi, kekeliruan itu terjadi karena ketidaktahuan, yang merupakan hal umum akibat keterbatasan ilmu pada anak-anak.

Anak-anak masih dalam proses belajar. Bahkan jika mereka bersekolah di sekolah Islam, seperti madrasah ibtidaiyah atau SD Islam Terpadu, mereka tetap baru belajar dan belum sepenuhnya memahami banyak hal.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Isra ayat 15:

… وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

“Dan Kami tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum Kami mengutus seorang rasul.” (QS. Al-Isra [17]: 15)

Rasulullah diutus untuk mengajarkan. Maka, Allah tidak akan mengadzab suatu kaum sebelum memberikan peringatan dan pengajaran terlebih dahulu. Begitu pula, kita tidak boleh menghukum anak atas sesuatu yang belum ia ketahui sebagai kesalahan. Mengajari orang yang tidak tahu mengutamakan kelemahlembutan.

Kelemahlembutan berarti suara tidak terlalu keras dan pilihan kata tidak menyakiti hati. Sering kali, kita merasa sudah lembut, tetapi intonasinya tetap tinggi atau “ngegas.” Padahal, kelemahlembutan adalah menggunakan suara yang tidak terlalu keras dan kata-kata yang tidak melukai hati.

Menyesuaikan ungkapan

Ungkapan atau bahasa yang kita gunakan saat menyampaikan nasihat kepada anak perlu disesuaikan. Saat merangkai kata untuk nasihat, terutama kepada anak kecil, sebaiknya gunakan kalimat sederhana. Jangan terlalu panjang, tidak perlu berlebihan, dan hindari pemilihan kata yang sulit.

Contohnya, ketika kita berbicara kepada anak kecil, tidak perlu memulai dengan mukadimah yang panjang disertai pengantar yang bertele-tele. Anak bisa kehilangan fokus, bahkan orang dewasa pun mudah merasa bosan jika penyampaian terlalu panjang.

Bahasa yang digunakan sebaiknya sederhana dan langsung pada intinya, hindari juga bahasa kiasan karena itu lebih cocok untuk orang dewasa. Anak kecil lebih membutuhkan nasihat yang simpel dan konkret, bukan yang terlalu rumit atau penuh perumpamaan.

Sebagai contoh, ketika berbicara kepada anak batita (bawah tiga tahun), yang cara berpikirnya masih sederhana, berikanlah arahan yang jelas tanpa pertanyaan rumit. Misalnya, jika anak sedang belajar makan sendiri menggunakan mangkuk dan makanannya berantakan, jangan langsung bertanya, “Kenapa makanannya tumpah-tumpah?” Pertanyaan seperti itu terlalu abstrak untuk pemikiran anak batita yang masih berkembang. Jangankan anak berusia kurang dari tiga tahun, orang dewasapun terkadang tidak selalu bisa menjawab pertanyaan tentang alasan perilaku mereka.

Contoh lain adalah kisah dari Umar bin Abi Salamah Radhiyallahu ‘Anhu, beliau menuturkan,

“كُنْتُ غُلاَمًا فِي حَجْرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَكَانَتْ يَدِي تَطِيشُ فِي الصَّحْفَةِ، فَقَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ» فَمَا زَالَتْ تِلْكَ طِعْمَتِي بَعْدُ”

“Dahulu saat kecil, aku dirawat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ketika makan bersama, tanganku bergerak kesana kemari di nampan. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun bersabda, ‘Nak, bacalah basmalah, makanlah dengan tangan kananmu, dan ambillah makanan yang terdekat denganmu.’ Umar berkata, ‘Semenjak mendapat nasehat tersebut, aku selalu menerapkan adab-adab tersebut setiap kali makan.`” (HR. Bukhari dan Muslim)

Cermatilah nasehat di atas. Bagaimana disampaikan dengan bahasa yang simpel dan gampang dipahami. Sehingga anak dengan mudah memahami pesan yang disampaikan kepadanya.

Memberikan solusi

Rafi’ bin ‘Amr al-Ghifariy Radhiyallahu ‘Anhu menuturkan,

“كُنْتُ وَأَنَا غُلَامٌ ‌أَرْمِي ‌نَخْلًا لِلْأَنْصَارِ، فَأُتِيَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقِيلَ: إِنَّ هَاهُنَا غُلَامًا يَرْمِي نَخْلَنَا، فَأُتِيَ بِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: «يَا غُلَامُ، لِمَ تَرْمِي النَّخْلَ؟» قَالَ: قُلْتُ: آكُلُ، قَالَ: «فَلَا تَرْمِ النَّخْلَ، وَكُلْ مَا يَسْقُطُ فِي أَسَافِلِهَا»، ثُمَّ مَسَحَ رَأْسِي، وَقَالَ: «اللهُمَّ أَشْبِعْ بَطْنَهُ»”.

“Dahulu saat masih kecil aku biasa melempari pohon kurma milik kaum Anshar. Hal itu dilaporkan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di sini ada anak kecil melempari pohon kurma kami!”. Akhirnya aku dibawa menghadap Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Beliau bertanya, “Nak, mengapa engkau melempari pohon kurma?”. Aku menjawab, “Untuk kumakan buahnya”. Beliau bersabda, “Jangan kau lempari pohon kurma. Tapi makanlah buah yang jatuh di bawah pohon”. Lalu beliau mengusap kepalaku sembari berdoa, “Ya Allah kenyangkanlah perutnya”. (HR. Ahmad)

Bagaimana penjelasan lengkapnya? Mari download mp3 kajian yang penuh manfaat ini.

Download mp3 Kajian


Artikel asli: https://www.radiorodja.com/54641-bijak-meluruskan-kekeliruan-anak/